Indikasi Paslon Manfaatkan ASN untuk Raih Dukungan, Bawaslu Langkat Bungkam

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Langkat dinilai tidak netral sebagai pihak badan penyelenggara yang melakukan pengawasan dalam setiap tahapan pelaksanaan Pilkada Kabupaten Langkat.

topmetro.news – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Langkat dinilai tidak netral sebagai pihak badan penyelenggara yang melakukan pengawasan dalam setiap tahapan pelaksanaan Pilkada Kabupaten Langkat.

Tidak adanya peran sebagai badan pengawasan yang ditunjuk negara untuk mengawasi setiap tahapan pelaksanaan pemilu dan pilkada, Bawaslu Langkat malah terkesan tidak peduli. Bahkan, sejak proses tahapan awal Pilkada Langkat, Bawaslu belum pernah melakukan sosialisasi terkait kesepakatan netralitas serta larangan pejabat daerah atau pun petahana atau paslon bupati/wakil bupati untuk tidak memanfaatkan perangkat desa/lurah atau camat serta ASN selama dalam proses tahapan awal pilkada.

Merebaknya video terkait Calon Bupati Langkat Nomor Urut 1 Syah Afandin yang terlihat memanfaatkan posisinya sebagai mantan Plt Bupati Langkat atau petahana, terindikasi dugaan awal telah melakukan pelanggaran tahapan pilkada yang diduga melibatkan kepala dinas dan ASN.

Dalam video yang beredar, terlihat Calon Bupati Nomor Urut 1 melibatkan salah seorang kabid di Dinas Pertanian yang mengajak para masyarakat kelompok binaan dinas terkait untuk mendukung mantan Plt Bupati Langkat tersebut.

Ironisnya, kendati mengelola anggaran besar untuk keberlangsungan pengawasan proses pelaksanaan Pilkada 2024 mencapai Rp19 miliar, Ketua Bawaslu Langkat, setiap dikonfirmasi awak media, terus bungkam seolah tidak memiliki peran sebagai pengawas.

Bungkamnya Ketua Bawaslu Langkat terkait adanya indikasi awal pelanggaran pilkada, sangat disesalkan masyarakat.

Padahal, sudah menjadi tupoksi Bawaslu untuk mengingatkan kepada para kepala daerah, pejabat (pj) kepala daerah, serta calon kepala daerah untuk tidak melibatkan ASN dan kepala desa dalam tahapan Pilkada 2024. Sebab, keterlibatan tersebut merupakan pelanggaran serius yang dapat berujung pada sanksi pidana.

“Kami harap kepala daerah tidak melibatkan ASN selama pilkada berlangsung. Sanksinya jelas, yakni pidana penjara paling singkat satu bulan hingga enam bulan dan/atau denda mulai dari enam ratus ribu hingga enam juta rupiah, sesuai dengan Pasal 70 Ayat (1) dan Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Pemilihan,” ujar pemerhati hukum di Kabupaten Langkat, Harianto Ginting SH MH, mengingatkan hasil Rakornas Kesiapan Kepala Daerah Menjaga Netralitas pada Pemilihan Serentak 2024, di Jakarta pada Selasa (17/9/2024) lalu.

Lebih lanjut, kepada awak media, Senin (7/10/3024), Harianto Ginting berharap, ancaman pidana tersebut mampu menghalangi para calon kepala daerah untuk melibatkan ASN dalam proses pilkada. Ia juga mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menciptakan iklim demokrasi yang bersih dan berintegritas.

“Mari kita ciptakan demokrasi yang jujur, adil, dan berintegritas. Dibutuhkan kerjasama semua pihak terkait untuk mencapai tujuan ini,” imbuhnya.

Ketua DPD PPKHI Binjai-Langkat tersebut juga menyampaikan pandangannya terkait posisi ASN dalam sistem pemerintahan yang terkoneksi erat dengan kepentingan politik. Ia menyoroti bahwa hubungan sinergis antara Presiden/kepala daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sering kali mengaburkan netralitas ASN.

“Kondisi ini menyebabkan ASN tidak netral saat menjalankan tugas, karena sarat dengan kepentingan politik. Konsep netralitas ini dirasakan masih belum sepenuh hati. Dan ini menjadi tantangan dalam menjaga PNS agar tetap netral serta terhindar dari politik praktis,” tuturnya.

Harianto menekankan pentingnya peran Bawaslu menjaga netralitas ASN, khususnya di tengah berlangsungnya proses Pilkada Serentak 2024 Kabupaten Langkat. “Dengan adanya ancaman sanksi pidana, diharapkan para Kepala Daerah dan Calon Kepala Daerah lebih berhati-hati dalam menjaga etika demokrasi agar Pilkada berlangsung dengan jujur dan adil,” tegasnya.

Merunut perundang-undangan tentang Pilkada, Harianto Ginting mengingatkan bahwa pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Langkat bisa saja menghadapi ancaman pidana jika terlibat dalam pengerahan bawahannya untuk memilih Pasangan Calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati pada Pemilukada 2024.

“Di regulasi pemilihan kali ini ada sanksi pidana yang mengancam Pejabat Negara, Pejabat Daerah, ASN, dan Kepala Desa jika mereka membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon,” katanya.

Sanksi ini diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara antara satu hingga enam bulan, serta denda mulai dari Rp600 ribu hingga Rp6 juta.

Harianto juga mengungkapkan, kekhawatirannya mengenai potensi pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada kali ini. “Potensi pengarahan ASN kepada bawahan itu ada. Kategorinya rendah, tetapi kecenderungannya bisa meningkat,” jelasnya.

Dalam konteks kampanye, ASN dilarang menggunakan atribut kampanye atau terlibat secara aktif. Peserta kampanye adalah warga masyarakat, kecuali ASN dan kepala desa, lurah, atau camat.

Dalam politik praktis, pengurus parpol, calon/paslon, tim kampanye/tim sukses, simpatisan atau relawan, merupakan pihak yang terlibat langsung dalam memenangkan parpol, calon, paslon sebagai peserta pemilu dan pilkada.

Dari berbagai peran komponen masyarakat dalam pemilu atau pilkada, terlihat ada beberapa kepala desa dan perangkat desa, camat dan lurah, ikut serta dalam berpartisipasi dalam politik praktis. Sehingga, muncul pertanyaan dan perdebatan di tengah-tengah masyarakat, apakah kepala desa dan perangkat desa boleh ikut dalam politik praktis?

Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam Pasal 29 Huruf (g) disebutkan bahwa, kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah, bupati atau walikota.

Dalam undang-undang tersebut, kepala desa memilki peran sebagai pihak yang netral. Kepala desa dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis, tidak bisa menjadi pengurus partai politik atau anggota partai politik dan tidak dapat juga menjadi tim kampanye atau tim sukses peserta pemilu atau pilkada.

Perangkat desa yang terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis juga dilarang untuk terlibat dalam politik praktis. Hal tersebut diatur UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 51 Huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada Huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.

Selanjutnya, dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada Pasal 280 Ayat 2 Huruf (h), (i), dan (j) yaitu pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Pada Pasal 280 Ayat 3 disebutkan bahwa setiap orang sebagaimana disebut pada pasal 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.

Sementara pada Pasal 282 juga dengan tegas mengatur bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Kemudian, dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

Berkaitan hal tersebut, pada Pasal 70 Ayat (1) Huruf (c) disebutkan bahwa dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau sebutan lain/lurah dan perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan.

Pasal 71 Ayat (1) disebutkan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Di sana disebutkan juga sanksi terhadap kepala desa dan perangkat desa yang melanggar larangan dalam politik praktis, yakni UU No 6 Tahun 2014:

Pada Pasal 30 Ayat (1), kepala desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.

Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.

Kemudian, pada Pasal 52 Ayat (1) jika perangkat desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.

Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian tetap.

Kemudian, UU No 7 Tahun 2017 Pasal 490 berbunyi, setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.

Pasal 494 berbunyi, setiap Aparatur Sipil Negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 Ayat (3), dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp12 juta.

Selanjutnya, dalam UU No 10 Tahun 2016 jo UU No 1 Tahun 2015, pada Pasal 71 Ayat (5) dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana jika melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dan Ayat (3), Petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Pasal 188, setiap pejabat negara, pejabat Aparatur Sipil Negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta.

Bukan itu saja, pada Pasal 189, calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota yang dengan sengaja melibatkan pejabat Badan Usaha Milik Negara, pejabat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Aparatur Sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah serta perangkat desa atau sebutan lain/perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud Pasal 70 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600 ribu atau paling banyak Rp6 juta.

Dalam pemilihan kepala daerah, seorang kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana bila terbukti melakukan pelanggaran dengan melakukan keputusan seperti kegiatan-kegiatan serta program di desa dan juga melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon atau calon kepala daerah yang terindikasi merugikan calon lain, misalnya ikut serta dalam kegiatan kampanye. Demikian juga, calon kepala daerah yang melibatkan kepala desa dan perangkat desa dapat dikenai sanksi pidana sebagai calon kepala daerah.

reporter | Rudy Hartono

Related posts

Leave a Comment